Wednesday 6 March 2013

Pembuatan Tablet Antalgin


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Tablet
     Menurut Anief (1984), tablet adalah sediaan padat yang berbentuk rata atau cembung rangkap umumnya bulat, dibuat dengan mengempa atau mencetak obat atau campuran obat dengan atau tanpa zat tambahan.
      Zat tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai :
  1. Pengisi, bahan ini dimaksudkan agar memperbesar volume tablet. Zat-zat yang dipakai ialah: Sakarum Laktis, Amilum, Kalsium Posfat, Kalsium Karbonat dan lain-lain.
  2. Pengikat, agar tablet tidak pecah, dapat merekat. Zat-zat yang dapat dipakai: Larutan Gelatin dan Larutan Metil Selulosa.
  3. Penghancur, agar tablet dapat hancur dalam perut, digunakan Amilum kering, Gelatin, Agar-agar, Natrium Alginat.
  4. Zat pelicin, agar tablet tidak lekat pada cetakan digunakan zat seperti: Talkum, Magnesium Stearat dan Asam Stearat.
      Sebagian besar tablet dibuat dengan cara pengempaan dan merupakan bentuk sediaan yang paling banyak digunakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja. Tablet dibuat dalam berbagai ukuran. Bentuk dan penandaan permukaan tergantung pada desain cetakan. Tablet berbentuk kapsul umumnya disebut kaplet (Ditjen POM, 1995).
Pembuatan Tablet
      Pada proses pembuatan tablet, zat berkhasiat dan zat tambahan, kecuali bahan pelicin dibuat granul (butiran kasar), karena serbuk yang halus tidak dapat mengisi cetakan tablet dengan baik. Jadi dengan dibuat granul, akan terjadi “free flowing”, mengisi cetakan secara tetap dan dapat dihindari tablet menjadi “capping” (retak) (Anief, 1984).
       Menurut Siregar (2010), ada tiga metode pembuatan tablet, yaitu:
a) Metode granulasi basah
Zat aktif dan eksipien dicampurkan, lalu dibuat cairan pengikat dalam alat campur. Pengeringan granul basah ± 50-60 C dalam lemari pengering. Granul yang sudah kering diayak dengan ayakan ukuran 14-20 mesh dalam mesin granulator. Kemudian dicampur zat tambahan ke dalam mesin campur khusus, menjadi massa kempa. Massa kempa dikempa menjadi tablet jadi dalam mesin tablet.
b) Metode granulasi kering (slugging)
Campur semua bahan (zat aktif dan zat tambahan) atau hanya zat aktif saja dalam alat campur. Kemudian ayak bahan dengan mesin granulator. Campur granul dengan zat tambahan lain dalam mesin pencampur khusus menjadi massa kempa. Massa kempa dikempa menjadi tablet jadi dalam mesin tablet.
c) Kempa langsung
Campur semua bahan (zat aktif dan zat tambahan) dalam alat campur menjadi massa kempa. Massa kempa dikempa menjadi tablet jadi dalam mesin tablet.
        Menurut Lachman (1994), tablet memiliki kelebihan dibandingkan dengan sediaan padat lainnya, diantaranya :
1. Tablet merupakan bentuk sediaan oral dengan ukuran yang tepat.
2. Tablet mudah ditelan.
3. Tablet merupakan bentuk sediaan oral yang mudah diproduksi secara besar-besaran.
4. Tablet dapat ditujukan untuk pelepasan khusus, seperti pelepasan diusus.
5. Tablet merupakan bentuk sediaan oral yang murah dan mudah untuk dikemas serta dikirim.

2.2 Persyaratan Tablet
        Menurut Farmakope Indonesia dan sumber-sumber lain, untuk menjamin mutu tablet harus memenuhi persyaratan yaitu, sebagai berikut :
a. Keseragaman bobot
Tablet harus memenuhi uji keseragaman bobot. Keseragaman bobot ini ditetapkan untuk menjamin keseragaman bobot tiap tablet yang dibuat. Tablet–tablet yang bobotnya seragam diharapkan akan memiliki kandungan bahan obat yang sama, sehingga akan mempunyai efek terapi yang sama.
Tabel 1 : Penyimpangan bobot rata-rata.


Bobot rata – rata
Penyimpanan bobot rata – rata dalam %
A
B
25 mg atau kurang
15%
30%
26 mg sampai dengan 150 mg
10%
20%
151 mg sampai dengan 300 mg
7,5%
15%
Lebih dari 300 mg
5%
10%

(DepKes RI, 1979).
b. Kekerasan
Kekerasan tablet dan ketebalannya berhubungan dengan isi die dan gaya kompresi yang diberikan. Umumnya kekuatan tablet berkisar 4-8 kg, bobot tersebut dianggap sebagai batas minimum untuk menghasilkan tablet yang memuaskan.
c. Keregasan
Cara lain untuk menentukan kekuatan tablet ialah dengan mengukur keregasannya. Gesekan dan goncangan merupakan penyebab tablet menjadi hancur. Untuk menguji keregasan tablet digunakan alat Roche friabilator. Persyaratan keregasan harus lebih kecil dari 0,8 %.
d. Waktu hancur
Interval waktu hancur adalah 5-30 menit. Tablet dikatakan hancur bila bentuk sisa tablet (kecuali bagian penyalut) merupakan massa dengan inti yang tidak jelas.
e. Penetapan kadar zat berkhasiat
Penetapan kadar berkhasiat dilakukan untuk mengetahui apakah tablet tersebut memenuhi syarat sesuai dengan etiket. Bila kadar obat tersebut tidak memenuhi syarat maka obat tersebut tidak memiliki efek terapi yang baik dan tidak layak dikonsumsi. Penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang sesuai pada masing-masing monografi antara lain di Farmakope Indonesia.
f. Disolusi
Disolusi adalah proses pemindahan molekul obat dari bentuk padat kedalam larutan pada suatu medium. Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam monografi pada sediaan tablet kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah atau tidak memerlukan uji disolusi.

2.3 Antalgin
2.3.1 Uraian Umum Antalgin
Nama kimia : Natrium 2,3-dimetil-1-fenil-5-pirazolon-4-
metilaminometanasulfonat
Sinonim :
- Metampiron
- Dipiron
Rumus molekul : C13H16N3NaO4S.H2O
Berat molekul : 351,37
Pemerian : Serbuk hablur putih atau putih kekuningan
Susut pengeringan : Tidak lebih dari 5,5 % pada suhu 1050C hingga bobot tetap
Kelarutan : Larut dalam air dan HCl 0,02 N
       Antalgin mengandung tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari 101,0 % C13H16N3NaO4S, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
       Syarat tablet Antalgin mengandung Antalgin, C13H16N3NaO4S.H2O, tidak kurang dari 95,0 % dan tidak lebih dari 105,0 % dari jumlah yang tertera pada etiket (Ditjen POM, 1995).

2.3.2 Analgetik-antipiretik
       Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, juga berkaitan dengan kerusakan jaringan. Nyeri dianggap sebagai tanda adanya gangguan di jaringan seperti peradangan dan infeksi. Antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan demam (suhu tubuh yang tinggi). Demam adalah suatu gejala dan bukan merupakan penyakit tersendiri. Pada umumnya (sekitar 90%) analgesik mempunyai efek antipiretik (Tjay, 2007).

2.3.3 Farmakodinamika Antalgin
        Sebagai analgetika, obat ini hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang, misalnya sakit kepala dan juga efektif terhadap nyeri yang
berkaitan dengan inflamasi. Efek analgetiknya jauh lebih lemah dari efek analgetik opiat, obat ini tidak menimbulkan ketagihan (adiksi) dan efek samping sentral yang merugikan (Setiabudy, 2007).

2.3.4 Farmakologi Antalgin
         Antalgin termasuk derivat metan sulfonat dari amidopyrin yang mudah larut dalam air dan cepat diserap ke dalam tubuh. Bekerja secara sentral di otak dalam menghilangkan nyeri, menurunkan demam dan menyembuhkan rheumatik. Antalgin mempengaruhi hipotalamus dalam menurunkan sensitifitas reseptor rasa sakit dan thermostat yang mengatur suhu tubuh (Lukmanto, 1986).

2.3.5 Efek Samping Antalgin
         Pada pemakaian yang teratur dan untuk jangka waktu yang lama, penggunaan obat-obat yang mengandung metampiron kadang-kadang dapat menimbulkan kasus agranulositosis fatal. Untuk mendeteksi hal tersebut, selama penggunaan obat ini perlu dilakukan uji darah secara teratur. Jika gejala tersebut timbul, penggunaan obat ini harus segera dihentikan (Lukmanto, 1986).

2.4 Metode Penetapan Kadar Antalgin
2.4.1 Iodimetri
         Penetapan kadar antalgin dilakukan secara iodimetri. Metode ini cukup akurat karena titik akhirnya cukup jelas sehingga memungkinkan titrasi dengan larutan titer yang encer. Iodimetri dilakukan terhadap zat yang potensial reduksi lebih tinggi dari sistem larutan iodin. Iodin merupakan oksidator yang lemah
dengan nilai potensial oksidasi sebesar +0,535 V. Pada saat reaksi oksidasi, iodin akan direduksi menjadi iodida (Rohman, 2007).

2.4.2 Prinsip Iodimetri
          Titrasi Iodimetri adalah titrasi berdasarkan reaksi oksidasi antara iodin sebagai pentiter dengan reduktor yang memiliki potensial oksidasi lebih rendah dari sistem iodin-iodida dimana sebagai indikator larutan kanji. Titrasi dilakukan dalam suasana netral sedikit asam (pH 5-8). Pada antalgin (metampiron), gugus –SO3Na dioksidasi oleh I2 menjadi –SO4Na (Satiadarma, 2004).

2.4.3 Indikator
         Biasanya indikator yang digunakan adalah kanji/ amilum. Sensitivitas warnanya tergantung pada pelarut yang digunakan. Kompleks iodin – amilum mempunyai kelarutan yang kecil dalam air sehingga biasanya ditambahkan pada titik akhir reaksi (Khopkar, 2007).
Larutan kanji dengan iod memberi suatu kompleks yang tak dapat larut dalam air, sehingga kanji tak boleh ditambahkan terlalu dini dalam titrasi. Karena itu, dalam titrasi iod, larutan kanji hendaknya tak ditambahkan sampai tepat sebelum titik akhir ketika warna mulai memudar (Basset, 1994).

2.4.4 Larutan Pentiter
         Pada titrasi iodimetri digunakan larutan iodin sebagai larutan titer. Iodin adalah oksidator lemah sedangkan iodida merupakan reduktor lemah. Iodin hanya larut sedikit dalam air, namun larut dalam larutan yang mengandug ion iodida.
Larutan iodin standar dapat dibuat dengan melarutkan iodin dengan larutan KI pekat. Karena iodin mudah menguap, maka larutan ini harus dibakukan dengan Natrium tiosulfat segera akan digunakan (Day, 2002).
Kelemahan pelarut beriodida adalah ion ini dapat teroksidasi oleh O2 dari udara yang dipercepat reaksinya dalam suasana asam atau oleh adanya cahaya, tetapi bersifat lambat dalam suasana netral. Selain itu, senyawa iodida (biasanya KI) yang digunakan dipersyaratkan agar bebas iodat (karena iodat bereaksi dengan I- dalam suasana asam dengan membentuk I2). Persyaratan harus dipenuhi bila larutan I2 dalam KI akan digunakan sebagai larutan baku (Mulyono, 2006).

No comments:

Post a Comment