Wednesday 6 March 2013

Tablet Griseofulvin


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pengertian Obat
       Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang dimaksudkan untuk 
digunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, 
menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau 
rohaniah pada manusia atau hewan, termasuk memperelok tubuh atau bagian 
tubuh manusia. Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tetapi masih 
banyak juga orang yang menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu, dapat 
dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai 
racun. Obat itu akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam 
pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi, apabila obat 
salah digunakan dalam pengobatan atau dengan dosis yang berlebih maka akan 
menimbulkan keracunan dan bila dosisnya kecil tidak akan memperoleh 
penyembuhan (Anief, 1991).
       Bahan obat jarang diberikan sendiri-sendiri, lebih sering merupakan suatu 
formula yang dikombinasi dengan satu atau lebih zat yang bukan obat yang 
bermanfaat untuk kegunaan farmasi. Bentuk-bentuk sediaan yang dapat 
digunakan beragam. Bentuk yang populer adalah tablet, kapsul, kaplet, suspense 
dan berbagai larutan sediaan farmasi (Ansel, 1989).

2.2 Kaplet
       Kaplet merupakan tablet berbentuk kapsul yang berisi bahan obat yang 
biasanya dibuat dengan penambahan bahan tambahan farmasetika yang sesuai. 
Tablet dapat berbeda-beda dalam ukuran, bentuk, berat, kekerasan, ketebalan, 
daya hancurnya dan dalam aspek lainnya tergantung pada cara pemakaian dan 
metode pembuatannya. Kebanyakan tablet digunakan secara oral dan kebanyakan 
dari tablet ini dibuat dengan penambahan zat warna, zat pemberi rasa dan lapisan
lapisan dalam berbagai jenis (Ansel, 1989).

       Berdasarkan metode pembuatan, tablet dapat digolongkan sebagai tablet 
cetak dan tablet kempa. Sebagian besar tablet dibuat dengan cara pengempaan dan 
merupakan bentuk sediaan yang paling banyak digunakan. Tablet kempa dibuat 
dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan 
baja. Tablet cetak dibuat dengan cara menekan massa lembab dengan tekanan 
rendah kedalam lubang cetakan. Kepadatan tablet tergantung pada ikatan kristal 
yang terbentuk selama proses pengeringan dan tidak tergantung pada kekuatan 
tekanan yang diberikan (Ditjen POM, 1995).

2.3 Kualitas Kaplet
          Syarat-syarat kaplet menurut Farmakope Indonesia edisi IV adalah sebagai berikut:
1. Keseragaman ukuran. 
2. Diameter tablet tidak lebih dari tiga kali dan tidak kurang dari satu sepertiga kali tablet.
3. Keseragaman bobot dan keseragaman kandungan.
Tablet harus memenuhi uji keseragaman bobot jika zat aktif merupakan bagian terbesar dari tablet yang cukup mewakili keseragaman kandungan. Keseragaman bobot bukan merupakan indikasi yang cukup dari keseragaman kandungan jika tablet bersalut gula. Oleh karena itu, umumnya Farmakope mensyaratkan tablet bersalut dan tablet yang mengandung zat aktif 50 mg atau kurang dan bobot zat aktif lebih kecil dari 50% bobot sediaan, harus memenuhi syarat uji keseragaman kandungan yang pengujiannya dilakukan pada tiap tablet. 
4. Waktu hancur
Waktu hancur penting dilakukan jika tablet diberikan per oral, kecuali tablet yang harus dikunyah sebelum ditelan. Uji ini dimaksudkan untuk menetapkan kesesuaian batas waktu hancur yang ditetapkan pada masing masing monografi. Uji waktu hancur tidak menyatakan bahwa sediaan atau bahan aktifnya terlarut sempurna.
5. Disolusi
Disolusi adalah suatu proses pemindahan molekul obat dari bentuk padat kedalam larutan suatu media. Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui banyaknya zat aktif yang terlarut dan memberikan efek terapi didalam tubuh. Kecepatan absorbsi obat tergantung pada cara pemberian yang dikehendaki dan juga harus dipertimbangkan frekuensi pemberian obat.
6. Penetapan kadar zat aktif
Penetapan kadar zat aktif bertujuan untuk mengetahui apakah kadar zat aktif yang terkandung didalam suatu sediaan sesuai dengan yang tertera pada etiket dan memenuhi syarat seperti yang tertera pada masing-masing monografi. Bila zat aktif obat tidak memenuhi syarat maka obat tersebut tidak akan memberikan efek terapi dan juga tidak layak untuk dikonsumsi.

2.4 Infeksi
       Infeksi dapat dikatakan terjadi apabila mikroorganisme yang masuk 
kedalam tubuh menyebabkan berbagai gangguan fisiologis normal tubuh, 
sehingga timbul penyakit infeksi. Salah satu infeksi tersebut adalah infeksi kulit 
(Wattimena, et al., 1991).
       Infeksi kulit dapat dibagi menjadi infeksi yang disebabkan oleh bakteri, 
virus, jamur dan parasit. Infeksi jammur merupakan penyebab penyakit kulit 
paling umum di Amerika Serikat. Selama beberapa tahun terakhir yang banyak 
obat anti jamur topical dan oral yang telah dikembangkan. Diantaranya adalah 
Griseofulvin (Goodman dan Gilman, 2007).

2.5 Griseofulvin
       Menurut Farmakope Indonesia edisi IV adalah sebagai berikut: 
Rumus molekul : C17H17ClO6
Berat molekul : 352,77
Kelarutan : tidak larut dalam air

2.5.1 Indikasi
       Griseofulvin memberikan hasil yang baik terhadap penyakit jamur dikulit, 
rambut dan kuku yang disebabkan oleh jamur yang sensitif. Gejala pada kulit 
akan berkurang dalam 48-96 jam setelah pengobatan dengan griseofulvin. 
Sedangkan penyembuhan sempurna baru terjadi setelah beberapa minggu. Biakan 
jamur menjadi negatif dalam 1-2 minggu tetapi pengobatan sebaiknya dilanjutkan 
sampai 3-4 minggu. Infeksi pada telapak tangan dan telapak kaki lebih lambat 
bereaksi, karena biakan negatif selama 2-4 minggu dan pengobatan membutuhkan 
waktu sekitar 48 minggu. Infeksi kuku tangan membutuhkan waktu 4-6 bulan 
sedangkan infeksi kuku kaki membutuhkan waktu 6-12 bulan (Gan, et al., 2007).
       Secara garis besar penyakit yang disebabkan oleh jamur atau yang biasa 
disebut mikosis pada manusia dibagi atas 5 kelas yaitu mikosis superfisialis, 
mikosis kulit, mikosis subkutan, mikosis sistemik dan mikosis oportunistik. 
Griseofulvin termasuk ke dalam mikosis superfisialis yang melibatkan kulit tetapi 
juga dapat menembus kulit. Mikosis superfisialis adalah infeksi jamur yang 
terutama mengenai lapisan kulit, rambut dan kuku (Widyasari, 2006).

2.5.2 Farmakologi
       Berdasarkan mekanisme kerjanya obat ini berakumulasi didaerah yang 
terinfeksi, disintesis kembali dalam jaringan yang mengandung keratin sehingga 
menyebabkan pertumbuhan jamur terganggu. Tetapi harus dilanjutkan sampai 
jaringan normal menggantikan jaringan yang terinfeksi dan biasanya 
membutuhkan waktu beberapa minggu sampai bulan. Berdasarkan 
farmakokinetiknya, griseofulvin terdistribusi baik ke jaringan keratin yang 
terinfeks, karena itu obat ini cocok untuk pengobatan infeksi dermatofitik. 
Konsentrasinya dalam jaringan lain dan cairan tubuh lebih rendah. Efek samping 
griseofulvin yang biasa terjadi adalah alergi dengan gejala seperti ruam kulit, sakit 
kepala, letih, insomnia, bingung dan juga dapat menyebabkan gangguan saluran 
pencernaan seperti mual, muntah, keluhan lambung dan diare (Azwar, 1995).

2.6 Uji Disolusi
       Disolusi adalah suatu proses pemindahan molekul obat dari bentuk padat 
ke dalam larutan pada suatu medium. Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa 
banyak persentasi zat aktif dalam obat yang terabsorbsi dan masuk ke 
dalam peredaran darah untuk memberikan efek terapi. Uji disolusi digunakan 
untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam 
monografi pada sediaan tablet kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus 
dikunyah atau tidak memerlukan uji disolusi. Dalam penentuan kecepatan disolusi 
dari bentuk sediaan padat terlibat berbagai macam proses disolusi yang 
melibatkan zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, 
kemampuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembangan, 
proses disintegrasi dan degradasi sediaan, merupakan sebagian dari factor yang 
mempengaruhi karakteristik disolusi obat dari sediaan (Ditjen POM, 1995).

2.6.1 Alat untuk uji disolusi
       Uji disolusi dapat dilakukan dengan menggunakan dua tipe alat, yaitu :
1. Alat 1 (Tipe keranjang)
Alat terdiri dari wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan 
transparan lain yang inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat 
penggerak. Wadah tercelup sebagian dalam penangas sehingga dapat 
mempertahankan suhu dalam wadah 37o ± 5oC selama pengujian 
berlangsung dan juga menjaga agar gerakan air dalam penangas air halus 
dan tetap. Bagaian dari alat, termasuk lingkaran tempat alat diletakkan 
tidak dapat memberikan gerakan, goncangan atau gerakan signifikan yang 
melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk. Lebih dianjurkan 
wadah disolusi berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160 
mm hingga 175 mm, diameter dalam 98 mm hingga 116 mm dan kapasitas 
minimal 1000 ml. pada bagian atas wadah ujungnya melebar, untuk 
mencegah penguapan dapat digunakan satu penutup yang pas. Batang 
logam berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 
2 mm pada tiap titik dari sumbu vertical wadah, berputar dengan halus dan 
tanpa goyangan yang berarti. Satu alat pengatur kecepatan sehingga 
memungkinkan untuk memilih kecepatan seperti yang tertera dalam 
masing-masing monografi (Ditjen POM, 1995).

2. Alat 2 (Tipe dayung)
Alat ini sama dengan alat 1, bedanya pada alat ini digunakan dayung yang 
terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi 
sedemikian rupa sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap 
titik dari sumbu vertical wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan 
yang berarti. Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan 
batang rata. Jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian dalam dasar 
wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung. Dauan dan batang 
logam yang merupakan suatu kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut 
yang inert dan sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam kedasar wadah 
sebelum dayung mulai berputar. Sepotong kecil bahan yang tidak bereaksi 
seperti gulungan kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk mencegah 
mengapungnya sediaan (Ditjen POM, 1995).

2.6.2 Media Disolusi
1. Air suling
Air suling adalah air yang dimurnikan yang diperoleh dengan 
destilasi. Dibuat dari air yang memenuhi persyaratan air minum. Tidak 
mengandung zat tambahan lain. Air ini digunakan untuk pembuatan 
sediaan-sediaan dan untuk uji penetapan pelarutan beberapa tablet.
2. Larutan ionik
Larutan ionik terutama banyak digunakan untuk menyesuaikan pH organ 
tubuh.
− Natrium laurel sulfat adalah campuran natrium alkil sulfat. Kandungan 
campuran natrium klorida dan natrium sulfat tidak lebih dari 8,0%. 

2.6.3 Spektrofotometri
        Spektofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari 
spektrometer dan fotometer. Spectrometer menghasilkan sinar dari spectrum 
dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas 
cahaya yang diabsorpsi. Jadi, spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi 
secara relatif jika energi tersebut diabsorbsi. Pada spektrofotometer, panjang 
gelombang yang benar-benar terseleksi dapat diperoleh dengan bantuan alat 
pengurai cahaya seperti prisma. Pada pengukuran di daerah tampak, kuvet kaca 
dapat digunakan tetapi untuk pengukuran di daerah tampak, kuvet kaca dapat 
digunakan tetapi untuk pengukuran pada daerah UV kita harus menggunakan sel 
kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. Umumnya tebal kuvet 
adalah 10 mm, tetapi yang lebih kecil ataupun yang lebih besar dapat digunakan. 
Sel yang digunakan berbentuk persegi. Kita harus menggunakan kuvet untuk 
pelarut organic (Khopkar, 2008).
        Menurut Rohman (2007), metode spektrofotometri sinar tampak 
digunakan untuk menetapkan kadar senyawa obat dalam jumlah yang cukup 
banyak. Cara untuk menetapkan kadar sampel adalah dengan menggunakan 
perbandingan absorbansi sampel dengan absorbansi baku, atau dengan 
menggunakan persamaan regresi linier yang menyatakan hubungan antara 
konsentrasi baku dengan absorbansinya.
        Jika penetapan kadar atau pengujian dengan menggunakan baku 
pembanding, yaitu dilakukan pengukuran spektrofotometri dengan larutan yang 
dibuat dari baku pembanding sesuai petunjuk resmi dan larutan yang dibuat dari 
baku pembanding sesuai petunjuk resmi dan larutan yang dibuat dari bahan uji. 
Kemudian lakukan pengukuran spektrofotometri dengan larutan yang dibaut dari 
baku pembanding sesuai petunjuk resmi dan larutan yang dibuat dari bahan uji. 
Kemudian lakukan pengukuran kedua secepat mungkin setelah pengukuran 
pertama menggunakan kuvet. Kuvet atau sel yang dimaksud, diisi larutan uji dan 
cairan pelarut. Toleransi tebal kuvet yang digunakan adalah lebih kurang 0,005 
cm (Ditjen POM, 1995).

Pembuatan Tablet Antalgin


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Tablet
     Menurut Anief (1984), tablet adalah sediaan padat yang berbentuk rata atau cembung rangkap umumnya bulat, dibuat dengan mengempa atau mencetak obat atau campuran obat dengan atau tanpa zat tambahan.
      Zat tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai :
  1. Pengisi, bahan ini dimaksudkan agar memperbesar volume tablet. Zat-zat yang dipakai ialah: Sakarum Laktis, Amilum, Kalsium Posfat, Kalsium Karbonat dan lain-lain.
  2. Pengikat, agar tablet tidak pecah, dapat merekat. Zat-zat yang dapat dipakai: Larutan Gelatin dan Larutan Metil Selulosa.
  3. Penghancur, agar tablet dapat hancur dalam perut, digunakan Amilum kering, Gelatin, Agar-agar, Natrium Alginat.
  4. Zat pelicin, agar tablet tidak lekat pada cetakan digunakan zat seperti: Talkum, Magnesium Stearat dan Asam Stearat.
      Sebagian besar tablet dibuat dengan cara pengempaan dan merupakan bentuk sediaan yang paling banyak digunakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja. Tablet dibuat dalam berbagai ukuran. Bentuk dan penandaan permukaan tergantung pada desain cetakan. Tablet berbentuk kapsul umumnya disebut kaplet (Ditjen POM, 1995).
Pembuatan Tablet
      Pada proses pembuatan tablet, zat berkhasiat dan zat tambahan, kecuali bahan pelicin dibuat granul (butiran kasar), karena serbuk yang halus tidak dapat mengisi cetakan tablet dengan baik. Jadi dengan dibuat granul, akan terjadi “free flowing”, mengisi cetakan secara tetap dan dapat dihindari tablet menjadi “capping” (retak) (Anief, 1984).
       Menurut Siregar (2010), ada tiga metode pembuatan tablet, yaitu:
a) Metode granulasi basah
Zat aktif dan eksipien dicampurkan, lalu dibuat cairan pengikat dalam alat campur. Pengeringan granul basah ± 50-60 C dalam lemari pengering. Granul yang sudah kering diayak dengan ayakan ukuran 14-20 mesh dalam mesin granulator. Kemudian dicampur zat tambahan ke dalam mesin campur khusus, menjadi massa kempa. Massa kempa dikempa menjadi tablet jadi dalam mesin tablet.
b) Metode granulasi kering (slugging)
Campur semua bahan (zat aktif dan zat tambahan) atau hanya zat aktif saja dalam alat campur. Kemudian ayak bahan dengan mesin granulator. Campur granul dengan zat tambahan lain dalam mesin pencampur khusus menjadi massa kempa. Massa kempa dikempa menjadi tablet jadi dalam mesin tablet.
c) Kempa langsung
Campur semua bahan (zat aktif dan zat tambahan) dalam alat campur menjadi massa kempa. Massa kempa dikempa menjadi tablet jadi dalam mesin tablet.
        Menurut Lachman (1994), tablet memiliki kelebihan dibandingkan dengan sediaan padat lainnya, diantaranya :
1. Tablet merupakan bentuk sediaan oral dengan ukuran yang tepat.
2. Tablet mudah ditelan.
3. Tablet merupakan bentuk sediaan oral yang mudah diproduksi secara besar-besaran.
4. Tablet dapat ditujukan untuk pelepasan khusus, seperti pelepasan diusus.
5. Tablet merupakan bentuk sediaan oral yang murah dan mudah untuk dikemas serta dikirim.

2.2 Persyaratan Tablet
        Menurut Farmakope Indonesia dan sumber-sumber lain, untuk menjamin mutu tablet harus memenuhi persyaratan yaitu, sebagai berikut :
a. Keseragaman bobot
Tablet harus memenuhi uji keseragaman bobot. Keseragaman bobot ini ditetapkan untuk menjamin keseragaman bobot tiap tablet yang dibuat. Tablet–tablet yang bobotnya seragam diharapkan akan memiliki kandungan bahan obat yang sama, sehingga akan mempunyai efek terapi yang sama.
Tabel 1 : Penyimpangan bobot rata-rata.


Bobot rata – rata
Penyimpanan bobot rata – rata dalam %
A
B
25 mg atau kurang
15%
30%
26 mg sampai dengan 150 mg
10%
20%
151 mg sampai dengan 300 mg
7,5%
15%
Lebih dari 300 mg
5%
10%

(DepKes RI, 1979).
b. Kekerasan
Kekerasan tablet dan ketebalannya berhubungan dengan isi die dan gaya kompresi yang diberikan. Umumnya kekuatan tablet berkisar 4-8 kg, bobot tersebut dianggap sebagai batas minimum untuk menghasilkan tablet yang memuaskan.
c. Keregasan
Cara lain untuk menentukan kekuatan tablet ialah dengan mengukur keregasannya. Gesekan dan goncangan merupakan penyebab tablet menjadi hancur. Untuk menguji keregasan tablet digunakan alat Roche friabilator. Persyaratan keregasan harus lebih kecil dari 0,8 %.
d. Waktu hancur
Interval waktu hancur adalah 5-30 menit. Tablet dikatakan hancur bila bentuk sisa tablet (kecuali bagian penyalut) merupakan massa dengan inti yang tidak jelas.
e. Penetapan kadar zat berkhasiat
Penetapan kadar berkhasiat dilakukan untuk mengetahui apakah tablet tersebut memenuhi syarat sesuai dengan etiket. Bila kadar obat tersebut tidak memenuhi syarat maka obat tersebut tidak memiliki efek terapi yang baik dan tidak layak dikonsumsi. Penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang sesuai pada masing-masing monografi antara lain di Farmakope Indonesia.
f. Disolusi
Disolusi adalah proses pemindahan molekul obat dari bentuk padat kedalam larutan pada suatu medium. Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam monografi pada sediaan tablet kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah atau tidak memerlukan uji disolusi.

2.3 Antalgin
2.3.1 Uraian Umum Antalgin
Nama kimia : Natrium 2,3-dimetil-1-fenil-5-pirazolon-4-
metilaminometanasulfonat
Sinonim :
- Metampiron
- Dipiron
Rumus molekul : C13H16N3NaO4S.H2O
Berat molekul : 351,37
Pemerian : Serbuk hablur putih atau putih kekuningan
Susut pengeringan : Tidak lebih dari 5,5 % pada suhu 1050C hingga bobot tetap
Kelarutan : Larut dalam air dan HCl 0,02 N
       Antalgin mengandung tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari 101,0 % C13H16N3NaO4S, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
       Syarat tablet Antalgin mengandung Antalgin, C13H16N3NaO4S.H2O, tidak kurang dari 95,0 % dan tidak lebih dari 105,0 % dari jumlah yang tertera pada etiket (Ditjen POM, 1995).

2.3.2 Analgetik-antipiretik
       Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, juga berkaitan dengan kerusakan jaringan. Nyeri dianggap sebagai tanda adanya gangguan di jaringan seperti peradangan dan infeksi. Antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan demam (suhu tubuh yang tinggi). Demam adalah suatu gejala dan bukan merupakan penyakit tersendiri. Pada umumnya (sekitar 90%) analgesik mempunyai efek antipiretik (Tjay, 2007).

2.3.3 Farmakodinamika Antalgin
        Sebagai analgetika, obat ini hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang, misalnya sakit kepala dan juga efektif terhadap nyeri yang
berkaitan dengan inflamasi. Efek analgetiknya jauh lebih lemah dari efek analgetik opiat, obat ini tidak menimbulkan ketagihan (adiksi) dan efek samping sentral yang merugikan (Setiabudy, 2007).

2.3.4 Farmakologi Antalgin
         Antalgin termasuk derivat metan sulfonat dari amidopyrin yang mudah larut dalam air dan cepat diserap ke dalam tubuh. Bekerja secara sentral di otak dalam menghilangkan nyeri, menurunkan demam dan menyembuhkan rheumatik. Antalgin mempengaruhi hipotalamus dalam menurunkan sensitifitas reseptor rasa sakit dan thermostat yang mengatur suhu tubuh (Lukmanto, 1986).

2.3.5 Efek Samping Antalgin
         Pada pemakaian yang teratur dan untuk jangka waktu yang lama, penggunaan obat-obat yang mengandung metampiron kadang-kadang dapat menimbulkan kasus agranulositosis fatal. Untuk mendeteksi hal tersebut, selama penggunaan obat ini perlu dilakukan uji darah secara teratur. Jika gejala tersebut timbul, penggunaan obat ini harus segera dihentikan (Lukmanto, 1986).

2.4 Metode Penetapan Kadar Antalgin
2.4.1 Iodimetri
         Penetapan kadar antalgin dilakukan secara iodimetri. Metode ini cukup akurat karena titik akhirnya cukup jelas sehingga memungkinkan titrasi dengan larutan titer yang encer. Iodimetri dilakukan terhadap zat yang potensial reduksi lebih tinggi dari sistem larutan iodin. Iodin merupakan oksidator yang lemah
dengan nilai potensial oksidasi sebesar +0,535 V. Pada saat reaksi oksidasi, iodin akan direduksi menjadi iodida (Rohman, 2007).

2.4.2 Prinsip Iodimetri
          Titrasi Iodimetri adalah titrasi berdasarkan reaksi oksidasi antara iodin sebagai pentiter dengan reduktor yang memiliki potensial oksidasi lebih rendah dari sistem iodin-iodida dimana sebagai indikator larutan kanji. Titrasi dilakukan dalam suasana netral sedikit asam (pH 5-8). Pada antalgin (metampiron), gugus –SO3Na dioksidasi oleh I2 menjadi –SO4Na (Satiadarma, 2004).

2.4.3 Indikator
         Biasanya indikator yang digunakan adalah kanji/ amilum. Sensitivitas warnanya tergantung pada pelarut yang digunakan. Kompleks iodin – amilum mempunyai kelarutan yang kecil dalam air sehingga biasanya ditambahkan pada titik akhir reaksi (Khopkar, 2007).
Larutan kanji dengan iod memberi suatu kompleks yang tak dapat larut dalam air, sehingga kanji tak boleh ditambahkan terlalu dini dalam titrasi. Karena itu, dalam titrasi iod, larutan kanji hendaknya tak ditambahkan sampai tepat sebelum titik akhir ketika warna mulai memudar (Basset, 1994).

2.4.4 Larutan Pentiter
         Pada titrasi iodimetri digunakan larutan iodin sebagai larutan titer. Iodin adalah oksidator lemah sedangkan iodida merupakan reduktor lemah. Iodin hanya larut sedikit dalam air, namun larut dalam larutan yang mengandug ion iodida.
Larutan iodin standar dapat dibuat dengan melarutkan iodin dengan larutan KI pekat. Karena iodin mudah menguap, maka larutan ini harus dibakukan dengan Natrium tiosulfat segera akan digunakan (Day, 2002).
Kelemahan pelarut beriodida adalah ion ini dapat teroksidasi oleh O2 dari udara yang dipercepat reaksinya dalam suasana asam atau oleh adanya cahaya, tetapi bersifat lambat dalam suasana netral. Selain itu, senyawa iodida (biasanya KI) yang digunakan dipersyaratkan agar bebas iodat (karena iodat bereaksi dengan I- dalam suasana asam dengan membentuk I2). Persyaratan harus dipenuhi bila larutan I2 dalam KI akan digunakan sebagai larutan baku (Mulyono, 2006).